Hukum Islam Mengenai Gadai Syariah

Soal :

Ustadz, apa hukumnya gadai syariah, baik yang ada di pegadaian syariah maupun di berbagai bank syariah sekarang?

Jawab :

Hukum Islam Mengenai Gadai Syariah

Hukum Islam Mengenai Gadai Syariah

Gadai syariah merupakan produk jasa gadai (rahn) yang diklaim dilaksanakan sesuai syariah, sebagai koreksi terhadap gadai konvensional yang haram karena memungut bunga (riba).  Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily. Sejak itu marak berbagai jasa gadai syariah, baik di Pegadaian Syariah maupun di berbagai bank syariah.

Gadai syariah tidak menghapus bunga, melainkan mengganti bunga itu dengan biaya simpan atas dasar akad ijarah (jasa). Jadi dalam gadai syariah ada dua akad : Pertama, akad rahn, yaitu akad utang (qardh) oleh rahin (nasabah) kepada murtahin (bank/pegadaian syariah) dengan menggadaikan suatu harta tertentu sebagai jaminan utang. Kedua, akad ijarah, yaitu akad jasa di mana murtahin menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada rahin. Baca pos ini lebih lanjut

Hukum Islam Mengenai Asuransi Syariah Bagian Pertama

Pertanyaan :

Hukum asuransi konvensional adalah haram. Lantas bagaimana dengan asuransi syariah? Apakah produk asuransi syariah ini sudah benar-benar sesuai syariah, ataukah hanya labelnya saja?

Jawaban :

Pendahuluan

Hukum Islam Mengenai Asuransi Syariah Bagian Pertama

Hukum Islam Mengenai Asuransi Syariah

 

Asuransi syariah di Indonesia dapat dikatakan tumbuh pesat, seiring dengan perkembangan “industri keuangan syariah” pada umumnya, seperti bank syariah. Meski dari market share (pangsa pasar) masih kecil, tapi dari segi peningkatan premi kotor meningkat cukup pesat.

Pangsa pasar asuransi syariah tahun ini telah mencapai 4% untuk produk asuransi jiwa dan 3,5% untuk asuransi umum. Angka ini mungkin dapat dianggap kecil dibanding pangsa pasar asuransi secara keseluruhan. Namun dilihat dari segi premi kotor, peningkatan yang ada cukup lumayan. Untuk premi kotor tahun ini (2012), terjadi peningkatan 10 kali lipat dibanding tahun 2006. Pada tahun 2006 premi kotor baru Rp499 miliar. Sedang pada akhir Desember 2011, premi kotor yang dibukukan asuransi syariah mencapai Rp4,97 triliun. (www.mediaindonesia.com, 19/5/2012).

Asuransi syariah di Indonesia sendiri mulai lahir tahun 1994, dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada 25 Agustus 1994 dengan produk Asuransi Takaful Keluarga (life insurance). Sejak saat itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti asuransi syariah “Mubarakah” (1997), serta berbagai unit asuransi syariah dari asuransi konvensional, seperti : MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumiputera (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo Takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), dan sebagainya. Sampai Mei 2008, sudah hadir 41 perusahaan asuransi syariah di Indonesia, 3 perusahaan re-asuransi syariah, dan 6 broker asuransi dan re-asuransi syariah.[1] Baca pos ini lebih lanjut

Hukum Islam Mengenai Asuransi Syariah Bagian 2

Pertanyaan : 

Apa hukumnya asuransi syariah?Apakah memang sudah sesuai syariah? (Farid Ma’ruf, Bantul).

Jawaban :

Hukum Islam Mengenai asuransi Syariah

Hukum Islam Mengenai asuransi Syariah

Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ (hibah) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. (Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah, AAOIFI, 2010, hlm. 376).

Dalil-dalil asuransi syariah antara lain dalil tolong menolong (QS Al Maidah : 2) dan dalil tabarru’ (hibah). Ada dalil hadis yang diklaim sebagai dasar asuransi syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa Asy’ari RA, ia berkata,”Nabi SAW bersabda,’Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih). (Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3).

Dalam asuransi syariah tanpa tabungan (non saving), seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi menjadi dana tabarru’ (hibah), yang dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut. Baca pos ini lebih lanjut

hukum Islam Mengenai Akad Gabungan ( Akad Gabungan )

Pertanyaan :

Mohon dijelaskan hukum multiakad (akad gabungan) seperti yang terjadi di bank syariah (misal kasus murabahah KPP dalam kredit sepeda motor), pegadaian syariah (gadai sekaligus jasa titip barang), dan kasus-kasus lainnya.

Jawaban :

Pengertian Multiakad

Multi Akad ( Akad Gabungan )

Multi Akad ( Akad Gabungan )

Istilah multiakad adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu : al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju  al-‘uqud.Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46.Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347.Sedangkan istilah damju  al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.

Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46). Baca pos ini lebih lanjut