ISLAM DAN POLIGAMI

Islam dan Poligami

Islam dan Poligami

Salah satu ajaran Islam yang sangat mulia adalah diperbolehkannya poligami bagi kaum laki-laki. Namun demikian, tidak jarang masalah satu ini dijadikan senjata oleh orang-orang yang benci dengan Islam untuk menohok dan mendiskreditkan ajaran Islam.   Dengan alasan bias gender, keseteraan gender, dan juga feminisme mereka menyatakan bahwa poligami merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap hak-hak perempuan.  Bahkan, ada sebagian pihak yang memandang poligami sebagai bentuk pelecehan terhadap kehormatan wanita.  Mereka menyamakan poligami dengan bentuk pelacuran dan gundikisme.

Benar, mereka tidak memandang poligami dari sudut pandang Islam.  Mereka tidak menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai dasar pijakan untuk menilai poligami.  Akan tetapi, mereka menggunakan dalil persamaan hak dan kesetaraan gender yang lahir dari pandangan kafir barat, liberalisme dan human right (HAM) untuk menghukumi poligami.  Wajar saja jika mereka mencela dan menghujat ajaran Islam yang sangat mulia itu.  Namun demikian, cara-cara seperti ini jelas-jelas tidak akan berhasil mempengaruhi keimanan kaum muslim.   Baca pos ini lebih lanjut

KAIDAH “AL-UMUUR BI MAQAASHIDIHA”

Kaidah Syara'

Kaidah Syara'

Kaidah Syar’iyyah adalah hukum syar’iyyah yang diistinbathkan dari dalil syara’ yang terperinci.  Kaidah syara’ berbeda dengan  dalil syara’.   Dalil syara’ adalah al-kitab, sunnah, ijma’ shahabat, dan qiyas.  Dari kaidah syar’iyyah diperoleh hukum syara’ yang bersifat juz-‘iyyah. Akan tetapi, baik kaidah syar’iyyah maupun hukum syara’ harus selalu disandarkan kepada sumber tasyri’iyyah yang diakui (dalil).  Dengan demikian, sebuah kaedah tidak dianggap sebagai kaidah syara’ kecuali shahih istinbathnya, serta rinci susunannya.  Misalnya, kaidah “Al-wasiilat ila al-haraam muharramah” (wasilah menuju ke haraman adalah diharamkan), atau kaidah “Kullu syai’ mu’ayyan yuaddiy ila al-dlarar al-muhaqqaq fa huwa haraam” (segala sesuatu yang mengantarkan kepada bahaya secara pasti (muhaqaq) adalah haram).  Ini adalah kaidah syar’iyyah. Dari kaidah-kaidah ini dibangun hukum-hukum syara’ yang bersifat juz’i (parsial) yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara’.  Untuk memahami kaidah dan manath (sandaran hukum)-nya, terlebih dahulu harus dibahas dalil atau penunjukkan yang digunakan sebagai sandaran proses istinbath kaidah tersebut.  Kaidah “Al-ashl fi al-asyya’ ibaahah” (Asal dari segala sesuatu adalah mubah), tanpa merujuk kepada dalilnya, kemungkinan akan dipahami bahwa asal dari urusan atau perbuatan manusia adalah mubah, dan seluruh perbuatan yang tidak disebutkan dalilnya adalah mubah.  Padahal hal ini jelas bertentangan dengan hukum syara’ dan tidak sesuai dengan maksud kaidah ini. Sebab, dalil dari kaedah ini hanya berhubungan dengan benda, bukan perbuatan manusia.    Allah swt berfirman : Baca pos ini lebih lanjut

KEMATIAN DAN DEFINISINYA

Kematian

Kematian

Allah swt telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan.  Allah swt juga memulyakan manusia dengan memberikan kepada mereka berbagai kelebihan.  Bahkan, Allah juga menetapkan aturan-aturan tertentu untuk menjaga kemulyaan dan martabat manusia.   Tidak hanya bagi mereka yang masih hidup, bagi mereka yang telah meninggal, Islam pun mengatur hukum-hukum khusus untuk menjaga kehormatan si mayat.   Islam telah melarang dengan larangan yang sangat keras, bagi siapapun yang memecah tulang mayat, mencincang, atau menelantarkan mayat.   Bahkan tidak cukup itu saja, Islam telah memberikan ketentuan yang sangat jelas, bagaimana tata cara menyelenggarakan mayat; mulai perlakuan terhadap orang yang baru meninggal, memandikannya, mengkafaninya, hingga menguburkannya.   Selain itu, Islam juga menetapkan hukum-hukum tertentu baik yang berkaitan dengan keyakinan seputar mayat, maupun hukum-hukum praktis mengenai penyelenggaraan mayat.  Dengan hukum-hukum itu, maka kehormatan dan kemuliaan mayat bisa terjaga.    Baca pos ini lebih lanjut

PEMIMPIN YANG HARUS DITAATI

Pemimpin Yang Harus Ditaati

Pemimpin Yang Harus Ditaati

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin.  Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan.   Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya.

Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana.   Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara.   Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.

Rasulullah saw selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpinan jumlahnya sangat banyak.  Di dalam al-Quran Allah swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan RasulNya, serta pemimpin diantara kalian.”[al-Nisaa’:59] Baca pos ini lebih lanjut